Bayi di Pinggir Sungai Kayu
Ara
Cerpen Bernard Batubara
Cerpen Bernard Batubara
Syahdan, tersebutlah sebuah sungai kecil
namun cukup dalam di pelosok desa Anjongan, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten
Pontianak, Kalimantan Barat. Sungai itu begitu jernihnya hingga siapapun yang bercermin
pada permukaan airnya, akan dapat melihat kerutan dahi dan wajahnya kian terang
melebihi bayangan di kaca. Sungai itu bernama Sungai Kayu Ara. Dinamakan
demikian sebab pada tepiannya terdapat sebatang pohon Ara. Kenapa pohon
tersebut dinamakan Ara...
tak ada yang tahu. Lidah Melayu masyarakat setempat membuat nama Ara menjadi Are. Are, dengan bunyi ‘e’ seperti kata ‘sepatu’. Jadilah sungai itu bernama Sungai Kayu Are.
tak ada yang tahu. Lidah Melayu masyarakat setempat membuat nama Ara menjadi Are. Are, dengan bunyi ‘e’ seperti kata ‘sepatu’. Jadilah sungai itu bernama Sungai Kayu Are.
Pada salah satu sudut di pinggir tubuh
Sungai Kayu Are, terpancang tegak batang pohon Are. Sebetulnya, pohon itu pun
tak lagi tampak seperti sebatang pohon. Tak ada daun atau ranting yang banyak
dengan cabang-cabangnya pada tubuh pohon itu. Yang tersisa pada tubuh pohon tersebut
hanyalah kaki-kakinya menancap di tanah dasar sungai dan perut juga dada lebar
yang tak terasa kokoh lagi. Seumpamanya pohon are itu menjelma manusia, ia akan
menjadi manusia tua dan gemuk tanpa kepala. Dan jika ia adalah manusia, mungkin
pohon Are telah berusia tak kurang dari seratus tahun.
Meskipun begitu, meski tampak tua bagai
seorang kakek bertubuh gemuk dan bergelambir, pohon Are tetap terpancang tegak
di pinggir tubuh sungai Kayu Are hingga kini. Sebetulnya, tak sepenuhnya tegak
tubuh pohon Are itu. Melainkan sedikit miring dan condong ke arah sungai. Tubuh
pohon tua menjadi condong ke arah sungai sebab salah satu cabangnya yang agak
besar acapkali dijadikan pijakan anak-anak yang melompat dan terjun ke sungai.
Anak-anak desa, sejak yang masih bocah
hingga remaja, baik lelaki maupun perempuan, hampir setiap sore memanjati pohon
Are dan melompat terjun ke sungainya. Betapa girang wajah anak-anak itu
berloncatan dari cabang pohon dan berendam di Sungai Kayu Are saban senja
menjelang di desa.
Anak-anak yang saban hari berendam di Sungai
Kayu Are menyadari akan satu hal, namun mereka tak pernah terlalu memikirkan
itu. Yakni, pada perut pohon Are yang sebagian terendam sungai, terdapat lubang
hampir satu meter lebarnya. Seolah perut kakek tua bergelambir itu telah digerogoti
oleh binatang hingga berlubanglah tubuh rentanya. Tak ada yang mengetahui
alasan sebetulnya terdapat lubang begitu besar pada perut pohon Are. Yang
jelas, ketika tengah malam tiba, setiap orang yang hendak masuk ke dalam hutan untuk
menunggu durian seringkali mendengar suara isak tangis seorang perempuan saat
mereka berjalan melintas di Sungai Kayu Are.
***
Berhari-hari belakangan, Iswandi dibuat
repot oleh kondisi desa yang sedang rawan. Telah terjadi perselisihan
antarsuku. Kabarnya, seorang lelaki dari suku Y telah berkelahi dengan lelaki
pula dari suku H. Perkelahian yang berawal dari tengkar mulut di warung kopi
itu berujung pembunuhan. Tak ada yang tahu pasti sebab mereka berkelahi. Konon,
masalah perempuan. Iswandi, satu-satunya polisi yang tinggal di desa, harus
menangani pertikaian dan mendamaikan kedua kelompok yang masih bersitegang
hingga kini.
“Kenapa tak minta bantuan dari Polres, Wan?”
Seorang teman lelaki Iswandi bertanya kepadanya seraya mengisap sebatang rokok.
“Masalah seperti ini tak bisa ditangani
orang selain aku. Bukan kenapa, aku warga desa sini. Aku tahu perangai
orang-orang desa.” Iswandi mengernyitkan dahinya, menyeruput kopi hitam di atas
meja.
“Maksudmu?”
“Jikalau pun aku bawa kasus ini ke atasan,
para pelaku akan kena sanksi sesuai hukum yang berlaku, lalu kelanjutannya apa?
Ketegangan akan terus berlangsung. Sebab masing-masing masih belum puas dan hukum
tak bisa menahan mereka dari melakukan kesewenangan yang serupa.”
“Jadi apa yang akan kaulakukan, Wan?”
“Aku tetap harus melakukan pendekatan
persuasif. Bicara mata ke mata, hati ke hati, kepada masing-masing kelompok.
Mencoba menepuk lembut pundak mereka, dan merangkul mereka. Seperti yang
biasanya kulakukan.”
“Ya. Seperti yang biasanya kaulakukan ya,
Wan.” Teman Iswandi itu kemudian menyambar gelas kopi Iswandi dan meminumnya
hingga tandas. Iswandi menepuk pundak temannya itu dengan keras.
Ketika kepala Iswandi tengah penuh dengan
perihal orang-orang desa, ia hanya ingin segera melangkah pulang ke rumah menemui
istrinya, Milana. Ia ingin melihat senyum kekasihnya itu sembari rebah dan
melepaskan lelah dalam pelukan istrinya. Dan Milana, dengan suara semerdu alir
air Sungai Kayu Ara dan mata secerah senja yang segar di langit desa, akan selalu
menyambutnya dengan gembira sembari berucap mesra, ‘Selamat pulang, Sayang.
Pasti lelah sekali, dirimu. Duduklah dahulu, akan kuseduh teh hangat tawar
untukmu.” Lalu Milana akan melepas sepatu dan kaus kaki Iswandi, kemudian
memijatnya perlahan dengan penuh kasih.
Ah Milana, istriku… Benak Iswandi telah
melayang ke rumah. Ia segera melangkah dari warung dan berjalan pulang. Telah
terbayang tubuh istrinya dalam pelukan dan percintaan yang penuh gairah di atas
ranjang.
***
Meski pernikahan mereka masihlah muda, tentu
Iswandi berharap ia akan segera memiliki seorang bayi yang kelak memanggilnya
dengan sebutan paling membanggakan di dunia bagi seorang lelaki: Ayah. Telah
tiga tahun ia menghabiskan malam demi malam penuh hasrat dengan Milana, namun
istri tercintanya itu tak kunjung bunting. Sebetulnya, Iswandi tak begitu
mempermasalahkan. Ia tetap mencintai Milana sepenuh hatinya meskipun mereka
belum dikaruniai seorang bayi. Namun, orangtua Iswandi kerap menyinggung
perihal tersebut, sehingga tak enak pula Iswandi dengan Milana. Dan masalah
bayi ini sesekali menyeruak dalam percakapan mereka. Seperti misalnya pada sore
ini saat Iswandi pulang dari kantornya:
“Milana, engkau tahu apa yang dikatakan ibu
padaku beberapa hari lalu?”
Milana, yang sedang menyeduh teh untuk
suaminya, menjawab dengan tenang. “Aku tahu, Mas. Soal bayi lagi, bukan?”
“Begitulah, Milana. Maafkan aku, atas nama
ibu. Engkau tahu, sesungguhnya aku tak apa-apa.”
“Aku juga menginginkan bayi, Mas. Bukan aku tak
ingin.”
“Aku tahu, Milana, istriku…”
Kemudian Iswandi melangkah ke belakang
Milana, merayapkan jemarinya di punggung istrinya yang melengkung indah di
balik pakaian longgarnya. Lalu dipeluknya tubuh istrinya itu dari belakang. Dikecupnya
pundak Milana dengan penuh kasih. Dan tersenyumlah Milana malu-malu, merah
bersemu pipinya bagai seorang perawan baru jatuh cinta.
“Aku menyayangimu, Milana.”
“Aku menyayangimu juga, Mas.”
Iswandi mengangkat dan menggendong istrinya
yang terkejut. Ia membawa Milana ke dalam kamar. Bercintalah lagi mereka menjelang
petang merambat ke penjuru desa. Dan cahaya merah-jingga menembus pohon-pohon dan
permukaan air Sungai Kayu Ara.
***
Pada tengah malam saat purnama bertengger
tenang di langit desa, seorang perempuan bersijingkat di pinggir Sungai Kayu
Ara. Perempuan itu tengah menangis, sembari merenungkan seorang lelaki yang
telah lama dicintainya: Iswandi. Telah beribu cara ia coba untuk menarik
perhatian lelaki paling gagah di desa itu. Tapi perjuangannya pupus juga ketika
Iswandi memilih untuk meminang Milana, seorang perempuan yang juga kembang
desa. Hampir seluruh warga desa menyenangi pasangan yang selalu tampak mesra
itu. Hampir seluruhnya, kecuali Yuni, perempuan yang tengah bersijingkat di pinggir
Sungai Kayu Ara pada tengah malam purnama dan dadanya diliputi benci.
Ketika Yuni duduk menekuk kaki ke muka dan
dagunya ia tempel ke lututnya yang legam, ia lihat secercah cahaya dari tubuh
sebatang pohon. Pohon itulah pohon Are. Pohon tua bagai seorang kakek bertubuh
gemuk bergelambir yang memiliki perut berlubang. Dari lubang di perut pohon Are
itulah Yuni menangkap semacam cahaya. Ia memicingkan mata, memastikan apa yang
ia lihat. Astaga, Yuni membatin, tampak oleh matanya sosok seperti bayi. Benarkah
itu bayi? Yuni tak yakin. Tapi ia begitu penasaran akan cahaya itu.
Maka tanpa menunggu apa-apa, Yuni pun
melompat dari tebing kecil di pinggir Sungai Kayu Ara, terjun ke sungai masih
dengan berpakaian lengkap. Tak ia pedulikan baju dan celananya basah. Yuni bergerak
perlahan ke arah perut pohon Are yang berlubang besar dan kini memancarkan
cahaya putih lembut. Semakin dekat ia sekarang. Sedikit ada rasa takut, namun
rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutan. Yuni bergerak lagi, hingga dicapainya
lubang besar itu.
Astaga, Yuni menahan teriakan, ternyata
memanglah cahaya itu adalah seorang bayi.
Yuni mengangkat kedua tangannya, hendak
meraih bayi bercahaya tersebut. Ketika sebelah telapak Yuni mendarat di perut
bayi itu, yakinlah Yuni bahwa bayi yang ia lihat betul-betul bayi manusia. Kulit
bayi bercahaya itu terasa dingin seperti es dan lembut bagaikan sutra. Tak ada
suara tangisan seperti bayi pada biasanya. Dan bayi itu mengambang di dalam
lubang besar di perut pohon Are. Yuni meraih tubuh bayi itu, membawanya
perlahan ke dalam dekapan dan memeluknya penuh kasih seolah ialah ibunya.
Kemudian, Yuni tersenyum. Namun senyumnya tak
tampak seperti senyum seorang yang sedang bahagia. Senyum Yuni bagai seorang yang
tengah merencanakan sesuatu.
Tiba-tiba saja, purnama di langit malam di
desa seakan bergerak-gerak. Seperti hendak berkata: Esok, akan ada kabar tak
menyenangkan muncul di dalam desa.
***
“Milana! Milana! Hai, perempuan lugu, buka
pintu rumahmu!”
Dari dapur, Milana yang tengah mencuci
piring dan gelas terperanjat mendengar sergahan di balik pintu depan rumah
kecilnya. Terburu-buru ia mengelap tangan dengan serbet dan bergegas membuka
pintu. Ketika ia mengucapkan salam, seorang perempuan dengan wajah berang
berdiri di depannya sembari menggendong bayi. Perempuan itu adalah Yuni.
“Milana. Kaulihat perbuatan suamimu ini.”
“Maaf, Yuni. Ada apa ini? Kenapa dengan
suamiku?”
“Tak kaulihat apa yang kubawa ini? Bayi.”
“Ya, aku tahu itu bayi. Tapi maaf Yuni, apa maksudmu? Aku tak mengerti.”
“Ini bayi hasil perbuatan suamimu
terhadapku, Milana! Sekarang suamimu harus bertanggung jawab dan menikahiku. Ia
adalah ayah dari bayi ini!”
Jantung Milana serasa lepas dari tempatnya
dan mendarat keras di dasar perutnya. Ia mendadak merasa pusing dan mual. Ia
ingin berkata lagi tapi tak mengerti apa yang harus dikatakan. Yuni di
hadapannya masih menatapnya berang sambil menggendong bayi. Mimpi apa aku
semalam, batin Milana. Tiba-tiba saja datang kabar seperti ini. Milana merasakan
dadanya seakan dihantam dengan papan dan gada bertubi-tubi.
“Mana Iswandi? Mana suamimu? Panggil dia
pulang. Dia harus bertanggungjawab!”
“Tenang, Yuni. Masuklah dulu.”
“Tak perlu! Dia harus menikahiku. Dia ayah
dari bayi ini!”
“Iya, Yuni. Sebentar lagi suamiku pulang.
Masuklah dulu. Tak enak bila dilihat tetangga.”
Maka dengan bersungut-sungut dan masih
berwajah berang, Yuni melangkah masuk ke dalam rumah Milana. Ia duduk di lantai
berlapis tikar. Bayi berkulit putih seperti tepung di dekapannya begitu tenang.
Tak menangis. Tak banyak bergerak. Hanya sesekali bibirnya seolah sedang
mengulum makanan, padahal ia tak sedang makan apa-apa. Dan mata bayi itu
senantiasa memejam seolah ia selalu tertidur.
Setelah pergi ke dapur barang sebentar, Milana
kembali ke Yuni membawa secangkir teh. Tampak Milana berusaha tetap memasang
senyum agar tenang hatinya. Namun ia tak bisa menahan debaran cemas dalam
dadanya ketika ia lihat bayi di dekapan Yuni. Bayi itu tampak lucu dan sehat
sekali. Namun, jika yang dikatakan Yuni benar adanya, maka peristiwa ini
tidaklah lucu sama sekali. Milana gelisah menunggu Iswandi pulang ke rumah.
Berselang lima belas menit dalam diam yang
dingin, seseorang yang ditunggu pun datang juga. Iswandi mengucap salam dan
melangkah masuk ke rumah. Alisnya terangkat saat ia melihat Yuni duduk di
lantai bersama Milana. Sekejap saja Iswandi memindahkan matanya ke arah sesuatu
yang didekap Yuni. Seorang bayi? Iswandi bertanya sendiri dalam hati.
“Kini telah datang suamimu, Milana. Katakanlah
semua kepadanya!” Yuni menyergah lagi. Bayi di dalam dekapannya tetap tak
menangis. Tak bersuara sama sekali.
“Ada apa ini, Yuni?” Iswandi mencoba
menerjemahkan apa yang sedang terjadi di dalam rumahnya. Pemandangan yang aneh baginya,
melihat Yuni berwajah berang sembari menggendong bayi dan membentak istrinya.
“Mas, benarkah anak yang digendong Yuni ini,
adalah anakmu?” Milana terisak. Berusaha keras ia menahan tangis. “Aku tahu,
Mas, aku belum bisa memberimu seorang bayi. Namun tak perlu kauhamili perempuan
lain, Mas. Setidaknya, tidak di belakangku. Jikalau kau meminta izin kepadaku
untuk memiliki bayi dari perempuan lain, dengan lapang dada aku akan
memperbolehkanmu. Sungguh, Mas…”
“Hah? Apa-apaan pula ini, Milana?!”
“Sudahlah, Iswandi. Akui semuanya kepada
istrimu. Ini adalah buah cinta kita. Ini adalah anakmu.” Yuni menyambung,
suaranya agak turun kini, seolah bersimpati kepada Iswandi.
Iswandi menoleh ke Yuni. “Apa maksudmu,
Yuni? Fitnah macam apa ini?”
Suara Iswandi yang cukup keras rupanya
terdengar oleh tetangga. Tiba-tiba saja beberapa orang berhenti di depan rumah
Iswandi, hendak mengetahui apa gerangan yang menyebabkan suara marah itu.
Yuni yang melihat keluar jendela dan
mendapati beberapa orang tengah berkumpul, beranjak dari hadapan Milana dan
Iswandi dan berdiri di depan kumpulan tetangga.
“Lihatlah ini! Polisi gagah yang kalian
bangga-banggakan itu, lelaki suku Y yang kalian segani akan kemampuannya
mendamaikan masyarakat itu, telah menghamili perempuan selain istrinya! Aku,
Yuni, telah dibuntinginya! Ini bayiku dari benih lelaki itu!”
Teriakan Yuni di depan rumah Iswandi
kemudian membuat warga semakin ramai. Sepertinya hampir seluruh isi desa kini
tengah berdiri melihat Yuni dan bayi yang ia dekap.
“Kalian saksikan! Jikalau Iswandi enggan
menikahiku, maka ini berarti penghinaan suku Y terhadap suku H! Kalian dengar
perkataanku? Ini penghinaan!”
Sontak, terdengarlah sorakan warga menyahuti
suara Yuni. Sorakan itu bercampur-campur. Rupanya amarah suku H terpancing atas
apa yang telah diperbuat Iswandi. Sementara itu, warga dari suku Y ikut
tersulut amarahnya melihat kelakuan Yuni yang main tuduh saja terhadap Iswandi.
Di dalam rumah, Iswandi tak melakukan
apa-apa kecuali mengambil air suci kemudian ia sembahyang. Setelah ia selesai, Iswandi
bersama Milana melangkah keluar rumah, menghampiri Yuni dan menghadap warga
desa. Tanpa bersuara, Iswandi mendekati Yuni dan menatap lekat-lekat bayi putih
itu. Sejenak, Iswandi melihat seperti cahaya lembut menyelubungi tubuh bayi
tersebut. Sementara itu, teriakan warga semakin ramai saja. Milana, berdiri di
sebelah Iswandi, tak tahu harus berbuat apa. Hanya ia tahan tangisnya, namun
tak ayal mengalir pula air dari sepasang matanya.
Lalu, seperti digerakkan oleh kekuatan tak
terlihat, tangan Iswandi terangkat, ia letakkan di perut bayi dalam gendongan
Yuni. Seolah dirinya adalah Djuraidj, maka ia berkata seperti bicara kepada
bayi itu. Suaranya cukup kencang hingga dapat didengar oleh warga yang
berkerumun di depan rumahnya.
“Siapa ayahmu, wahai bayi putih yang sehat?”
Tak berapa lama, bayi itu menjawab:
“Bukan kau, ayahku.”
“Jawablah lagi, wahai bayi. Siapa ayahmu?”
“Sebatang pohon tua di Sungai Kayu Are.”
Tampaklah wajah-wajah terkejut menatap bayi
di pelukan Yuni yang berbicara. Tak terkecuali Milana dan Yuni sendiri. Suara
bayi itu begitu jelas layaknya suara manusia dewasa. Tak ada kata-katanya yang
terdengar kabur atau meracau. Seluruhnya jelas. Seluruh warga pun mendengar apa
yang bayi itu katakan. Yuni tergeragap, menyaksikan bayi yang ia dekap menjawab
pertanyaan Iswandi.
“Telah jelas kini, ayah dari bayi ini
bukanlah aku. Namun, jikalau kalian berkenan, akan kurawat bayi ini sepenuh
hatiku. Sudah lama aku bersama istriku merindukan kehadiran seorang bayi. Mungkin,
Tuhan telah menjawab doa kami.”
Iswandi mengambil bayi putih bercahaya itu
dari pelukan Yuni yang masih tergeragap. Perempuan itu berlari meninggalkan rumah
Iswandi dan kerumunan warga yang masih tercengang pula.
Sementara itu, cahaya senja di sudut desa
menembus daun-daun pepohonan dan alir air Sungai Kayu Are. Seorang bocah tengah
berendam di dalam sungai. Seorang lagi temannya, memanjat pohon Are dan melompat
ke sungai. Byur! Mereka berdua
bersorak-sorai sembari menciprat-cipratkan air ke wajah satu sama lain. Tiba-tiba,
dari arah punggung mereka terdengar dengungan. Bersamaan, kedua bocah itu
berbalik badan dan melihat ke arah pohon Are.
Cahaya terang membentuk seperti bayi tengah
mengambang tenang dalam rongga perut pohon tersebut. Terdengar pula isak tangis
perempuan yang tak terlihat dari mana asalnya. Dan di langit desa, purnama
masih bertengger dengan damai. Sedangkan angin malam berkesiur pelan menggoyangkan
dedaunan di dalam hutan.
No comments:
Post a Comment