Ads 698x60px

About Me

Penikmat syair, teh, dan langit senja.

Thursday, November 7, 2013

[Cerpen] Bayi di Pinggir Sungai Kayu Ara

Bayi di Pinggir Sungai Kayu Ara
Cerpen Bernard Batubara
Syahdan, tersebutlah sebuah sungai kecil namun cukup dalam di pelosok desa Anjongan, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Sungai itu begitu jernihnya hingga siapapun yang bercermin pada permukaan airnya, akan dapat melihat kerutan dahi dan wajahnya kian terang melebihi bayangan di kaca. Sungai itu bernama Sungai Kayu Ara. Dinamakan demikian sebab pada tepiannya terdapat sebatang pohon Ara. Kenapa pohon tersebut dinamakan Ara...
tak ada yang tahu. Lidah Melayu masyarakat setempat membuat nama Ara menjadi Are. Are, dengan bunyi ‘e’ seperti kata ‘sepatu’. Jadilah sungai itu bernama Sungai Kayu Are.

Pada salah satu sudut di pinggir tubuh Sungai Kayu Are, terpancang tegak batang pohon Are. Sebetulnya, pohon itu pun tak lagi tampak seperti sebatang pohon. Tak ada daun atau ranting yang banyak dengan cabang-cabangnya pada tubuh pohon itu. Yang tersisa pada tubuh pohon tersebut hanyalah kaki-kakinya menancap di tanah dasar sungai dan perut juga dada lebar yang tak terasa kokoh lagi. Seumpamanya pohon are itu menjelma manusia, ia akan menjadi manusia tua dan gemuk tanpa kepala. Dan jika ia adalah manusia, mungkin pohon Are telah berusia tak kurang dari seratus tahun.
Meskipun begitu, meski tampak tua bagai seorang kakek bertubuh gemuk dan bergelambir, pohon Are tetap terpancang tegak di pinggir tubuh sungai Kayu Are hingga kini. Sebetulnya, tak sepenuhnya tegak tubuh pohon Are itu. Melainkan sedikit miring dan condong ke arah sungai. Tubuh pohon tua menjadi condong ke arah sungai sebab salah satu cabangnya yang agak besar acapkali dijadikan pijakan anak-anak yang melompat dan terjun ke sungai.
Anak-anak desa, sejak yang masih bocah hingga remaja, baik lelaki maupun perempuan, hampir setiap sore memanjati pohon Are dan melompat terjun ke sungainya. Betapa girang wajah anak-anak itu berloncatan dari cabang pohon dan berendam di Sungai Kayu Are saban senja menjelang di desa.
Anak-anak yang saban hari berendam di Sungai Kayu Are menyadari akan satu hal, namun mereka tak pernah terlalu memikirkan itu. Yakni, pada perut pohon Are yang sebagian terendam sungai, terdapat lubang hampir satu meter lebarnya. Seolah perut kakek tua bergelambir itu telah digerogoti oleh binatang hingga berlubanglah tubuh rentanya. Tak ada yang mengetahui alasan sebetulnya terdapat lubang begitu besar pada perut pohon Are. Yang jelas, ketika tengah malam tiba, setiap orang yang hendak masuk ke dalam hutan untuk menunggu durian seringkali mendengar suara isak tangis seorang perempuan saat mereka berjalan melintas di Sungai Kayu Are.
***
Berhari-hari belakangan, Iswandi dibuat repot oleh kondisi desa yang sedang rawan. Telah terjadi perselisihan antarsuku. Kabarnya, seorang lelaki dari suku Y telah berkelahi dengan lelaki pula dari suku H. Perkelahian yang berawal dari tengkar mulut di warung kopi itu berujung pembunuhan. Tak ada yang tahu pasti sebab mereka berkelahi. Konon, masalah perempuan. Iswandi, satu-satunya polisi yang tinggal di desa, harus menangani pertikaian dan mendamaikan kedua kelompok yang masih bersitegang hingga kini.
“Kenapa tak minta bantuan dari Polres, Wan?” Seorang teman lelaki Iswandi bertanya kepadanya seraya mengisap sebatang rokok.
“Masalah seperti ini tak bisa ditangani orang selain aku. Bukan kenapa, aku warga desa sini. Aku tahu perangai orang-orang desa.” Iswandi mengernyitkan dahinya, menyeruput kopi hitam di atas meja.
“Maksudmu?”
“Jikalau pun aku bawa kasus ini ke atasan, para pelaku akan kena sanksi sesuai hukum yang berlaku, lalu kelanjutannya apa? Ketegangan akan terus berlangsung. Sebab masing-masing masih belum puas dan hukum tak bisa menahan mereka dari melakukan kesewenangan yang serupa.”
“Jadi apa yang akan kaulakukan, Wan?”
“Aku tetap harus melakukan pendekatan persuasif. Bicara mata ke mata, hati ke hati, kepada masing-masing kelompok. Mencoba menepuk lembut pundak mereka, dan merangkul mereka. Seperti yang biasanya kulakukan.”
“Ya. Seperti yang biasanya kaulakukan ya, Wan.” Teman Iswandi itu kemudian menyambar gelas kopi Iswandi dan meminumnya hingga tandas. Iswandi menepuk pundak temannya itu dengan keras.
Ketika kepala Iswandi tengah penuh dengan perihal orang-orang desa, ia hanya ingin segera melangkah pulang ke rumah menemui istrinya, Milana. Ia ingin melihat senyum kekasihnya itu sembari rebah dan melepaskan lelah dalam pelukan istrinya. Dan Milana, dengan suara semerdu alir air Sungai Kayu Ara dan mata secerah senja yang segar di langit desa, akan selalu menyambutnya dengan gembira sembari berucap mesra, ‘Selamat pulang, Sayang. Pasti lelah sekali, dirimu. Duduklah dahulu, akan kuseduh teh hangat tawar untukmu.” Lalu Milana akan melepas sepatu dan kaus kaki Iswandi, kemudian memijatnya perlahan dengan penuh kasih.
Ah Milana, istriku… Benak Iswandi telah melayang ke rumah. Ia segera melangkah dari warung dan berjalan pulang. Telah terbayang tubuh istrinya dalam pelukan dan percintaan yang penuh gairah di atas ranjang.
***
Meski pernikahan mereka masihlah muda, tentu Iswandi berharap ia akan segera memiliki seorang bayi yang kelak memanggilnya dengan sebutan paling membanggakan di dunia bagi seorang lelaki: Ayah. Telah tiga tahun ia menghabiskan malam demi malam penuh hasrat dengan Milana, namun istri tercintanya itu tak kunjung bunting. Sebetulnya, Iswandi tak begitu mempermasalahkan. Ia tetap mencintai Milana sepenuh hatinya meskipun mereka belum dikaruniai seorang bayi. Namun, orangtua Iswandi kerap menyinggung perihal tersebut, sehingga tak enak pula Iswandi dengan Milana. Dan masalah bayi ini sesekali menyeruak dalam percakapan mereka. Seperti misalnya pada sore ini saat Iswandi pulang dari kantornya:
“Milana, engkau tahu apa yang dikatakan ibu padaku beberapa hari lalu?”
Milana, yang sedang menyeduh teh untuk suaminya, menjawab dengan tenang. “Aku tahu, Mas. Soal bayi lagi, bukan?”
“Begitulah, Milana. Maafkan aku, atas nama ibu. Engkau tahu, sesungguhnya aku tak apa-apa.”
“Aku juga menginginkan bayi, Mas. Bukan aku tak ingin.”
“Aku tahu, Milana, istriku…”
Kemudian Iswandi melangkah ke belakang Milana, merayapkan jemarinya di punggung istrinya yang melengkung indah di balik pakaian longgarnya. Lalu dipeluknya tubuh istrinya itu dari belakang. Dikecupnya pundak Milana dengan penuh kasih. Dan tersenyumlah Milana malu-malu, merah bersemu pipinya bagai seorang perawan baru jatuh cinta.
“Aku menyayangimu, Milana.”
“Aku menyayangimu juga, Mas.”
Iswandi mengangkat dan menggendong istrinya yang terkejut. Ia membawa Milana ke dalam kamar. Bercintalah lagi mereka menjelang petang merambat ke penjuru desa. Dan cahaya merah-jingga menembus pohon-pohon dan permukaan air Sungai Kayu Ara.
***
Pada tengah malam saat purnama bertengger tenang di langit desa, seorang perempuan bersijingkat di pinggir Sungai Kayu Ara. Perempuan itu tengah menangis, sembari merenungkan seorang lelaki yang telah lama dicintainya: Iswandi. Telah beribu cara ia coba untuk menarik perhatian lelaki paling gagah di desa itu. Tapi perjuangannya pupus juga ketika Iswandi memilih untuk meminang Milana, seorang perempuan yang juga kembang desa. Hampir seluruh warga desa menyenangi pasangan yang selalu tampak mesra itu. Hampir seluruhnya, kecuali Yuni, perempuan yang tengah bersijingkat di pinggir Sungai Kayu Ara pada tengah malam purnama dan dadanya diliputi benci.
Ketika Yuni duduk menekuk kaki ke muka dan dagunya ia tempel ke lututnya yang legam, ia lihat secercah cahaya dari tubuh sebatang pohon. Pohon itulah pohon Are. Pohon tua bagai seorang kakek bertubuh gemuk bergelambir yang memiliki perut berlubang. Dari lubang di perut pohon Are itulah Yuni menangkap semacam cahaya. Ia memicingkan mata, memastikan apa yang ia lihat. Astaga, Yuni membatin, tampak oleh matanya sosok seperti bayi. Benarkah itu bayi? Yuni tak yakin. Tapi ia begitu penasaran akan cahaya itu.
Maka tanpa menunggu apa-apa, Yuni pun melompat dari tebing kecil di pinggir Sungai Kayu Ara, terjun ke sungai masih dengan berpakaian lengkap. Tak ia pedulikan baju dan celananya basah. Yuni bergerak perlahan ke arah perut pohon Are yang berlubang besar dan kini memancarkan cahaya putih lembut. Semakin dekat ia sekarang. Sedikit ada rasa takut, namun rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutan. Yuni bergerak lagi, hingga dicapainya lubang besar itu.
Astaga, Yuni menahan teriakan, ternyata memanglah cahaya itu adalah seorang bayi.
Yuni mengangkat kedua tangannya, hendak meraih bayi bercahaya tersebut. Ketika sebelah telapak Yuni mendarat di perut bayi itu, yakinlah Yuni bahwa bayi yang ia lihat betul-betul bayi manusia. Kulit bayi bercahaya itu terasa dingin seperti es dan lembut bagaikan sutra. Tak ada suara tangisan seperti bayi pada biasanya. Dan bayi itu mengambang di dalam lubang besar di perut pohon Are. Yuni meraih tubuh bayi itu, membawanya perlahan ke dalam dekapan dan memeluknya penuh kasih seolah ialah ibunya.
Kemudian, Yuni tersenyum. Namun senyumnya tak tampak seperti senyum seorang yang sedang bahagia. Senyum Yuni bagai seorang yang tengah merencanakan sesuatu.
Tiba-tiba saja, purnama di langit malam di desa seakan bergerak-gerak. Seperti hendak berkata: Esok, akan ada kabar tak menyenangkan muncul di dalam desa.
***
“Milana! Milana! Hai, perempuan lugu, buka pintu rumahmu!”
Dari dapur, Milana yang tengah mencuci piring dan gelas terperanjat mendengar sergahan di balik pintu depan rumah kecilnya. Terburu-buru ia mengelap tangan dengan serbet dan bergegas membuka pintu. Ketika ia mengucapkan salam, seorang perempuan dengan wajah berang berdiri di depannya sembari menggendong bayi. Perempuan itu adalah Yuni.
“Milana. Kaulihat perbuatan suamimu ini.”
“Maaf, Yuni. Ada apa ini? Kenapa dengan suamiku?”
“Tak kaulihat apa yang kubawa ini? Bayi.”

“Ya, aku tahu itu bayi. Tapi maaf Yuni, apa maksudmu? Aku tak mengerti.”
“Ini bayi hasil perbuatan suamimu terhadapku, Milana! Sekarang suamimu harus bertanggung jawab dan menikahiku. Ia adalah ayah dari bayi ini!”
Jantung Milana serasa lepas dari tempatnya dan mendarat keras di dasar perutnya. Ia mendadak merasa pusing dan mual. Ia ingin berkata lagi tapi tak mengerti apa yang harus dikatakan. Yuni di hadapannya masih menatapnya berang sambil menggendong bayi. Mimpi apa aku semalam, batin Milana. Tiba-tiba saja datang kabar seperti ini. Milana merasakan dadanya seakan dihantam dengan papan dan gada bertubi-tubi.
“Mana Iswandi? Mana suamimu? Panggil dia pulang. Dia harus bertanggungjawab!”
“Tenang, Yuni. Masuklah dulu.”
“Tak perlu! Dia harus menikahiku. Dia ayah dari bayi ini!”
“Iya, Yuni. Sebentar lagi suamiku pulang. Masuklah dulu. Tak enak bila dilihat tetangga.”
Maka dengan bersungut-sungut dan masih berwajah berang, Yuni melangkah masuk ke dalam rumah Milana. Ia duduk di lantai berlapis tikar. Bayi berkulit putih seperti tepung di dekapannya begitu tenang. Tak menangis. Tak banyak bergerak. Hanya sesekali bibirnya seolah sedang mengulum makanan, padahal ia tak sedang makan apa-apa. Dan mata bayi itu senantiasa memejam seolah ia selalu tertidur.
Setelah pergi ke dapur barang sebentar, Milana kembali ke Yuni membawa secangkir teh. Tampak Milana berusaha tetap memasang senyum agar tenang hatinya. Namun ia tak bisa menahan debaran cemas dalam dadanya ketika ia lihat bayi di dekapan Yuni. Bayi itu tampak lucu dan sehat sekali. Namun, jika yang dikatakan Yuni benar adanya, maka peristiwa ini tidaklah lucu sama sekali. Milana gelisah menunggu Iswandi pulang ke rumah.
Berselang lima belas menit dalam diam yang dingin, seseorang yang ditunggu pun datang juga. Iswandi mengucap salam dan melangkah masuk ke rumah. Alisnya terangkat saat ia melihat Yuni duduk di lantai bersama Milana. Sekejap saja Iswandi memindahkan matanya ke arah sesuatu yang didekap Yuni. Seorang bayi? Iswandi bertanya sendiri dalam hati.
“Kini telah datang suamimu, Milana. Katakanlah semua kepadanya!” Yuni menyergah lagi. Bayi di dalam dekapannya tetap tak menangis. Tak bersuara sama sekali.
“Ada apa ini, Yuni?” Iswandi mencoba menerjemahkan apa yang sedang terjadi di dalam rumahnya. Pemandangan yang aneh baginya, melihat Yuni berwajah berang sembari menggendong bayi dan membentak istrinya.
“Mas, benarkah anak yang digendong Yuni ini, adalah anakmu?” Milana terisak. Berusaha keras ia menahan tangis. “Aku tahu, Mas, aku belum bisa memberimu seorang bayi. Namun tak perlu kauhamili perempuan lain, Mas. Setidaknya, tidak di belakangku. Jikalau kau meminta izin kepadaku untuk memiliki bayi dari perempuan lain, dengan lapang dada aku akan memperbolehkanmu. Sungguh, Mas…”
“Hah? Apa-apaan pula ini, Milana?!”
“Sudahlah, Iswandi. Akui semuanya kepada istrimu. Ini adalah buah cinta kita. Ini adalah anakmu.” Yuni menyambung, suaranya agak turun kini, seolah bersimpati kepada Iswandi.
Iswandi menoleh ke Yuni. “Apa maksudmu, Yuni? Fitnah macam apa ini?”
Suara Iswandi yang cukup keras rupanya terdengar oleh tetangga. Tiba-tiba saja beberapa orang berhenti di depan rumah Iswandi, hendak mengetahui apa gerangan yang menyebabkan suara marah itu.
Yuni yang melihat keluar jendela dan mendapati beberapa orang tengah berkumpul, beranjak dari hadapan Milana dan Iswandi dan berdiri di depan kumpulan tetangga.
“Lihatlah ini! Polisi gagah yang kalian bangga-banggakan itu, lelaki suku Y yang kalian segani akan kemampuannya mendamaikan masyarakat itu, telah menghamili perempuan selain istrinya! Aku, Yuni, telah dibuntinginya! Ini bayiku dari benih lelaki itu!”
Teriakan Yuni di depan rumah Iswandi kemudian membuat warga semakin ramai. Sepertinya hampir seluruh isi desa kini tengah berdiri melihat Yuni dan bayi yang ia dekap.
“Kalian saksikan! Jikalau Iswandi enggan menikahiku, maka ini berarti penghinaan suku Y terhadap suku H! Kalian dengar perkataanku? Ini penghinaan!”
Sontak, terdengarlah sorakan warga menyahuti suara Yuni. Sorakan itu bercampur-campur. Rupanya amarah suku H terpancing atas apa yang telah diperbuat Iswandi. Sementara itu, warga dari suku Y ikut tersulut amarahnya melihat kelakuan Yuni yang main tuduh saja terhadap Iswandi.
Di dalam rumah, Iswandi tak melakukan apa-apa kecuali mengambil air suci kemudian ia sembahyang. Setelah ia selesai, Iswandi bersama Milana melangkah keluar rumah, menghampiri Yuni dan menghadap warga desa. Tanpa bersuara, Iswandi mendekati Yuni dan menatap lekat-lekat bayi putih itu. Sejenak, Iswandi melihat seperti cahaya lembut menyelubungi tubuh bayi tersebut. Sementara itu, teriakan warga semakin ramai saja. Milana, berdiri di sebelah Iswandi, tak tahu harus berbuat apa. Hanya ia tahan tangisnya, namun tak ayal mengalir pula air dari sepasang matanya.
Lalu, seperti digerakkan oleh kekuatan tak terlihat, tangan Iswandi terangkat, ia letakkan di perut bayi dalam gendongan Yuni. Seolah dirinya adalah Djuraidj, maka ia berkata seperti bicara kepada bayi itu. Suaranya cukup kencang hingga dapat didengar oleh warga yang berkerumun di depan rumahnya.
“Siapa ayahmu, wahai bayi putih yang sehat?”
Tak berapa lama, bayi itu menjawab:
“Bukan kau, ayahku.”
“Jawablah lagi, wahai bayi. Siapa ayahmu?”
“Sebatang pohon tua di Sungai Kayu Are.”
Tampaklah wajah-wajah terkejut menatap bayi di pelukan Yuni yang berbicara. Tak terkecuali Milana dan Yuni sendiri. Suara bayi itu begitu jelas layaknya suara manusia dewasa. Tak ada kata-katanya yang terdengar kabur atau meracau. Seluruhnya jelas. Seluruh warga pun mendengar apa yang bayi itu katakan. Yuni tergeragap, menyaksikan bayi yang ia dekap menjawab pertanyaan Iswandi.
“Telah jelas kini, ayah dari bayi ini bukanlah aku. Namun, jikalau kalian berkenan, akan kurawat bayi ini sepenuh hatiku. Sudah lama aku bersama istriku merindukan kehadiran seorang bayi. Mungkin, Tuhan telah menjawab doa kami.”
Iswandi mengambil bayi putih bercahaya itu dari pelukan Yuni yang masih tergeragap. Perempuan itu berlari meninggalkan rumah Iswandi dan kerumunan warga yang masih tercengang pula.
Sementara itu, cahaya senja di sudut desa menembus daun-daun pepohonan dan alir air Sungai Kayu Are. Seorang bocah tengah berendam di dalam sungai. Seorang lagi temannya, memanjat pohon Are dan melompat ke sungai. Byur! Mereka berdua bersorak-sorai sembari menciprat-cipratkan air ke wajah satu sama lain. Tiba-tiba, dari arah punggung mereka terdengar dengungan. Bersamaan, kedua bocah itu berbalik badan dan melihat ke arah pohon Are.
Cahaya terang membentuk seperti bayi tengah mengambang tenang dalam rongga perut pohon tersebut. Terdengar pula isak tangis perempuan yang tak terlihat dari mana asalnya. Dan di langit desa, purnama masih bertengger dengan damai. Sedangkan angin malam berkesiur pelan menggoyangkan dedaunan di dalam hutan.
***

No comments:

Post a Comment