gambar diambil dari: iandini.wordpress.com
Sepasang Tangan Hanyut di
Sungai Kapuas
Cerpen Bernard Batubara
Cerpen Bernard Batubara
Di sebuah desa kecil, tak betapa jauh dari
Sungai Kapuas, duduklah sejoli yang tengah dimabuk cinta. Si lelaki muda
rupawan bernama Sarif, dan gadis jelita berambut gelombang yang ia genggam
tangannya itu bernama Meihana. Mereka duduk di tepi sungai, tempat kesukaan
mereka menghabiskan waktu, sekaligus melarikan diri dari orangtua yang tak
merestui...
hubungan mereka.
hubungan mereka.
“Mei…”, kata lelaki itu.
“Jangan panggil aku Mei. Suhana saja.”
“Suhana?” Sarif mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?”
“Ya. Setelah kupikirkan matang-matang,
selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, maka telah kuputuskan semalam
menjelang aku terlelap, bahwa sekarang namaku bukan Meihana lagi.” ujar
perempuan itu mantap. “Melainkan, Suhana.”
Sarif menatap mata Meihana, atau Suhana, dengan
penuh cinta. Ia agaknya paham alasan Meihana mengganti namanya sendiri. Kemudian
ia menggenggam tangan gadis itu lebih erat dari sebelumnya. Dan sembari
tersenyum, Suhana menidurkan kepalanya di pundak Sarif yang kokoh. Betapa
beruntungnya ia mendapat kekasih seorang lelaki yang gagah, dan penuh tekad
serta berani memperjuangkan cintanya. Tak seperti laki-laki lain yang segera
mundur ketika tahu bahwa orangtua Suhana tak memberikan restu.
Suhana tahu, Sarif adalah lelaki yang
berbeda. Dan, Sarif pun tahu, bahwa Suhana layak untuk ia perjuangkan.
“Jangan lepaskan genggamanmu, Sarif. Sampai
maut memisahkan kita.”
“Sampai maut memisahkan kita, Suhana.”
Sungai di bawah kaki Sarif dan Suhana terus
mengalir menjemput muaranya: mulut Sungai Kapuas yang lebar terbuka. Langit di
siang hari betapa biru kini seakan tersenyum melihat sejoli yang tengah dimabuk
cinta itu.
***
Menjelang petang, Sarif pulang ke rumahnya. Ia
mendapati ayahnya sedang duduk di beranda. Tak ia mengerti, mengapa ayahnya
tampak berwajah tak senang. Apakah telah terjadi sesuatu, pikirnya. Sarif
berjalan agak waswas menghampiri ayahnya.
“Ke mana saja kau tadi, Sarif?”
“Aku ke rumah teman, Ayah.”
“Bohong kau.”
“Betul, Ayah. Aku ke rumah teman. Kalau tak
percaya-”
“Pardi penunggu durian tadi ketemu Ayah di
pasar. Ia bilang, ia melihatmu berdua dengan perempuan duduk di sungai dekat
hutan. Betulkah itu?”
Sarif menundukkan kepalanya. Celaka ia kini.
“Jawab, Sarif. Betulkah apa yang dilihat
Pardi itu?”
“Be-Betul,
Ayah.”
Lalu sepasang mata ayah Sarif yang memang
sudah merah, sekarang kian nyalang saja. Lelaki bertubuh kurus dan berkumis
tebal itu menggebrak meja di beranda dengan tangannya yang berurat menonjol. Sarif
lalai. Seharusnya ia tahu sekarang sudah masuk musim durian. Banyak orang
keluar-masuk hutan untuk menunggu buah jatuh. Dan ayahnya yang memiliki banyak
informan itu, bisa “memantau” pertemuannya dengan Suhana.
“Berapa kali kukatakan kepadamu agar tak
menemui gadis jelata itu lagi.”
“Maaf, Ayah…”
“Kuberikan hak-hakmu sebagai anak dan kuajarkan
kau untuk menjadi lelaki, Sarif. Tapi kenapa tak kauhormati permintaanku dan
prinsip keluargamu sendiri?”
“Tapi, Ayah. Aku mencintai Meihana.”
“Gadis anak toko kelontong itu punya masa
depannya, Sarif, tapi bukan bersamamu! Tinggalkan dia, ia tak layak!”
“Kami saling mencintai, Ayah…”
“Sarif, anakku, telah kupilihkan untukmu
gadis terbaik. Anak juragan kayu. Seorang syarifah, sama sepertimu. Sederajat
dengan kau!”
Sarif tahu, percakapan ini takkan berujung. Setidaknya,
tak seperti yang ia inginkan. Ayahnya takkan pernah paham apa yang ia dan
Suhana rasakan saat ini. Sarif pun tak mengerti dengan ayahnya sendiri,
bukankah lelaki tua itu dulu juga pernah dilanda cinta? Bukankah semestinya ia,
setidaknya, mencoba sedikit saja memahami bahwa anaknya kini telah menjatuhkan
hatinya pada seorang gadis yang juga mencintainya? Dan bagaimana pula Sarif
dipaksa untuk melepaskan anugerah yang begitu indah itu?
***
“Hana…”
“Ya, Sarif, kekasihku?”
“Ayah menyuruhku menemui Zahra.”
“Oh…” Tiba-tiba, Suhana mengendurkan
genggamannya dari tangan Sarif. Ia menundukkan kepala, menatap alir air sungai
yang pelan. “Anak juragan kayu itu?”
Sadar bahwa Suhana merasa tak nyaman, Sarif
menggenggam tangan gadis berkulit putih dan bermata mungil itu lebih erat.
Lebih hangat. “Ya, Hana. Tak apa-apa, kan? Aku hanya akan menemuinya, tak ada
urusan lain.”
“Bagaimana aku bisa melarangmu, Sarif. Aku
tak punya hak atasmu.”
“Jangan kau khawatir, Hana. Aku akan selalu
kembali untukmu. Hatiku telah aku jatuhkan padamu. Tanganku hanya muat
digenggam oleh tanganmu. Kau tahu itu, Hana?”
Lalu, gadis kurus itu pun menoleh kembali ke
wajah lelaki gagah nan tampan di sebelahnya. Perlahan, ia tersenyum. Senyum itulah
yang pertama kali merampas hati Sarif saat mereka bertemu di hutan beberapa
bulan yang lalu, kala Sarif bersama teman-temannya tengah bermain tapok pipit di antara pohon-pohon
menjulang dan semak belukar. Meihana, atau Suhana, berjalan di pinggir sungai
dan Sarif bertemu pandang dengan gadis itu. Lantas Sarif dan Meihana bertukar
senyum dan seketika bibit-bibit asmara pun tumbuhlah di dasar dada belia
mereka.
“Sarif…”
“Ya, Hana, gadisku?”
“Kau tahu, ibu melarangku untuk menemuimu.”
“Ya, aku tahu.”
“Aku mengganti namaku agar aku bisa bersatu
denganmu. Agar aku tak berbeda. Agar aku tak dipandang asing oleh ayahmu dan
tak pantas mencintaimu sebab aku bukan dari wilayah dan silsilahmu, dan aku
hanya gadis toko kelontong.”
“Kita tak berbeda, Hana. Kita sama manusia.
Kita sama saling cinta.”
Berat sekali Suhana menahan airmatanya yang
hendak mengalir. Tak bisa ia bayangkan jika Sarif betul-betul akan menikah
dengan Zahra, gadis juragan kayu yang cantiknya tiada tara itu. Suhana tahu, Zahra
adalah gadis yang sepantaran dengan Sarif, dari garis silsilah yang serupa. Sementara
dirinya hanya semacam makhluk asing di mata ayah dan keluarga Sarif, tak pantas
menjatuhkan hati pada lelaki rupawan itu.
Tanpa Sarif tahu, setetes airmata Suhana
jatuh juga ke permukaan sungai. Muncullah riak-riak kecil yang menyimpan
seperti luka dari hati terdalam Suhana. Luka dan ketakutan itu larut dan
bercampur dalam arus sungai, berenang hingga mencapai mulut Kapuas: muaranya.
“Hana, gadisku?”
“Ya, Sarif.”
“Aku tahu bagaimana cara kita bersatu. Tapi
berjanjilah dulu untuk tak takut.”
“Sarif, aku tak pernah takut mencintaimu.
Aku hanya takut kehilanganmu.”
“Kau takkan kehilanganku, Hana. Bahkan, kita
akan terus bersama. Tunggu di sini, aku akan segera kembali.”
Maka Sarif melepaskan genggamannya dari
tangan Hana, dan ia bangkit, bergegas pergi dari pinggir sungai. Hana hanya
diam, melihat punggung lelaki terkasihnya kian menjauh dan hilang terhalau
semak belukar dan pohon-pohon menjulang. Ia duduk dan menunggu.
Bulan separuh terpantul di muka sungai. Daun-daun
bergetar tersenggol angin dan Suhana duduk menunggu… Suhana duduk dan menunggu…
Lalu, terdengar langkah kaki mendekat. Sarif
telah kembali dengan membawa sesuatu di tangannya. Karena gelap, Suhana ragu
atas apa yang ia lihat. Namun kala Sarif semakin dekat, barulah ia tahu apa
yang dibawa Sarif.
“Siapkah kau, Hana, gadisku?” Sebelah tangan
Sarif yang tak membawa apa-apa meraih tangan Suhana, menggenggamnya begitu erat,
seakan tak ingin lagi melepasnya.
Hana diam saja. Ia menatap lekat-lekat mata
lelaki di hadapannya. Tak mengerti betul ia akan apa yang dilakukan oleh Sarif.
Tetapi ia mencintai lelaki itu, dan apapun yang diperlukan agar mereka bersama,
maka dengan sepenuh jiwa ia akan melakukannya.
***
Keesokan harinya, saat azan magrib berkumandang
bersahut-sahutan di penjuru kota dan burung-burung terbang di angkasa, beberapa
penduduk di pinggir Sungai Kapuas berkerumun. Seorang pengemudi sepit menambatkan perahu mesinnya dengan
wajah panik dan bingung. Warga lain pun tampak sama panik dan bingungnya
melihat apa yang dibawa oleh pengemudi sepit
itu: sepasang lengan manusia yang bergenggaman. Pemiliknya entah di mana.
No comments:
Post a Comment